Selasa, 02 Juni 2009

Dunia Usaha Incar Lulusan SMK


LULUSAN SMK semakin diminati industri.Banyak lulusan SMK yang langsung bekerja setelah lulus, bahkansudah”ditaksir”perusahaan saat masih berstatus pelajar.

Dulu, citra sekolah menengah kejuruan (SMK) bisa jadi kurang bergengsi di mata masyarakat. Pandangan bahwa SMK adalah strata terendah dalam pendidikan menengah di Indonesia dan menjadi pelarian dari siswa yang tidak diterima di SMA,kini berangsur-angsur menghilang. Sebabnya, selain membekali siswanya dengan keterampilan khusus di satu bidang, yang membuatnya unggul dibandingkan lulusan SMA,SMK juga banyak yang berbenah diri, mempercantik sekolah dengan berbagai failitas pendukung yang memadai hingga lulusannya punya kemampuan bersaing di duniakerja.

Lihat saja para lulusan SMK 26 Jakarta.Menurut Wakil Bidang Hubungan Industri dan PSG (Pendidikan Sistem Ganda) SMK 26 Bambang Asmoro Hadi, lulusan SMK yang terletak di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, ini hanya punya masa tunggu 0 bulan alias langsung bekerja setelah lulus. Tak hanya langsung bekerja, mereka juga biasanya sudah ”dipesan” oleh perusahaan tertentu sebelum mereka lulus sekolah.”Di sekolah kami, lulusan yang langsung kerja begitu lulus persentasenya bisa sampai 68%.

Sisanya yang menunggu tiga bulan sekitar lima sampai 10 persen,”kata Bambang. Tak hanya asal bekerja, para alumnus SMK bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota Astra Motor, Siemens,atau Daihatsu.”Kami memang bekerja sama dengan perusahaan- perusahaan tersebut.Ada yang memang terhubung langsung, ada juga yang kerja sama biasa.Kirakira ada 100 perusahaan yang kita ajak kerja sama,”ujar Bambang. SMK 26 memang sedikit berbeda dengan SMK kebanyakan.

Di sini, siswa belajar selama empat tahun dengan satu tahun terakhir dipakai untuk magang bekerja.Selama tahun tersebut,jika siswa berprestasi bagus, biasanya langsung direkrut sebagai pegawai kontrak di perusahaan tempatnya magang. Jika masih memuaskan, tentunya peluang untuk diangkat menjadi karyawan tetap terbuka lebar. Jika prestasinya luar biasa, siswa dan alumni bahkan bisa dikirim magang ke luar negeri seperti Jepang atau Abu Dhabi.SMK 26 memang bekerja sama dengan perusahaan CIAEC di Jepang,yangbergerakdibidangmesindanelektronika.

Perusahaan ini juga memiliki banyak anak perusahaan di Indonesia, misalnya Miwon, yang memudahkan pengiriman siswa magang ke sana. ”Siswa yangmagang,padatahun pertama digaji 80.000 yen per bulan. Tahun kedua 90.000, dan tahun ketiga 100.000.Ditambah juga fasilitas mendapat tempat tinggal di asrama. Kalau siswa betah, dia bisa terus bekerja di sana. Kalau tidak, dia akan diberi modal kerja sampai 70 juta rupiah,”tuturBambang.

Jika magang selama satu tahun jadi andalan SMK 26 untuk memberi kesempatan siswa untuk menunjukkan diri dan perusahaan untuk menilai kinerja lulusan SMK, di SMK Tarakanita dan SMK Jayawisata yang masa studinya memakai ukuran standar tiga tahun pun, lulusannya juga tetap diminati dunia industri. Kerja sama dan terbuka dengan kehadiran banyak perusahaan di sekolah ini jadi jalan yang efektif untuk menyalurkanlulusansiswamerekakeduniakerja.

”Kalau ada perusahaan yang datang ke sekolah kita pada bulan September, pasti sudah kesulitan untuk mencari siswa yang fresh graduate karena mereka biasanya sudah dapat pekerjaan,” kata Kepala Sekolah SMK Tarakanita Florentina Mujiyani. Masih menurut kepala sekolah yangbiasadisapa Yaniini,setiapsaat memang selalu ada kunjungan dari beberapa perusahaan untuk melihat siswa-siswa yang berpotensi untuk direkrutdiperusahaanmereka.

Tak hanya itu, setiap akhir tahun setelah ujian atau UN, SMK Tarakanita juga mengadakan bursa kerja yang setiap harinya didatangi satu atau dua perusahaan. Di ajang ini, dilakukan seleksi perekrutan karyawan selama satu hari penuh. ”Jadi dari mulai tes,wawancara, sampai akhirnya diterima jadi karyawan, dilakukan selama satu hari. Besoknya, ada perusahaan lain yang melakukan kegiatan yang sama.Jadi acara ini memang benarbenar dimanfaatkan para siswa untuk mencari kerja,”kata Yani.

Selain kunjungan perusahaan, SMK Tarakanita juga bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam program binaan. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga dialami lulusan SMK Jayawisata 2,Kalimalang. Biasanya,lulusan SMK ini juga langsung diminati beberapa perusahaan perhotelanataubiroperjalanan, seperti Hotel Borobudur, Hotel Grand Hyatt,atau Hotel Millenium. ”Biasanya, siswa menunggu satu sampai dua bulan untuk menunggu ijazah mereka keluar.

Namun, ada juga dua atau tiga anak yang tidak perlu menunggu ijazah, sudah bisa langsung ke kerja di sebuah perusahaan,” kata Ketua Jurusan Bidang Tour and Travel SMK Jayawisata 2 MT Sirait. Melihat perkembangan permintaan lulusan SMK di dunia kerja, Direktorat Pembinaan SMK Departemen Pendidikan Nasional mencoba meresponsnya dengan rencana menambah jumlah SMK di Indonesia. Menurut Direktur Pembinaan SMK Djoko Sutrisno, tahun 2014 nanti jumlah SMK akan lebih banyak daripada SMA.

”Kemarin itu, rasionya masih 70:30 untuk SMA, sekarang sudah 53:47 dengan angka 53 masih untuk SMA.Tapi nanti, tahun 2014 kita usahakan angkanya sudah berubah menjadi 33:67 untuk SMK,” sebutnya. Menurut Djoko,lulusan SMK diminati dunia kerja karena para lulusannya punya kemampuan teknis yang melebihi lulusan SMA. Soal citra yang dulu tidak begitu bagus soal SMK, Depdiknas juga sudah berusaha untukmenghapusnya.

”Sekarang kan ada iklan layanan masyarakat di televisi yang mencoba mengangkat citra SMK. Jadi dari masyarakat juga dunia industri juga bisa melihat bahwa lulusan SMK juga bisa bersaing,” ujar Djoko. Dia menegaskan, citra bahwa lulusan SMK cuma bisa jadi tukang juga tak sepenuhnya benar karena setelah mereka lulus masih bisa melanjutkan kuliah juga. (herita endriana)

Pendidikan ‘Life Skills’ Solusi Efektif Atasi Pengangguran


Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun bukan saja merupakan lampu kuning bagi pemerintah, lantaran laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat, akan berpengaruh besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan, antara lain meningkatnya jumlah penduduk miskin.


Jika pada tahun 2005 lalu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik angkatan kerja menganggur 10,26 persen, namun pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. “Angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta,” kata Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M Tri Sambodo.

Menurut Tri Sambodo, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. “Ini artinya, ujarnya, semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai skenario optimum yaitu 6,5 persen dengan tingkat serapan tenaga kerja hanya 218.518 orang untuk setiap pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka lapangan kerja tersedia hanya 1,4 juta orang. “Mereka yang tak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka pengangguran,” kata Tri Sambodo. Memang, tambah dia, berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.

Lantas apa upaya warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan jumlah angkatan kerja semakin bertambah dan pengangguaran pun terus menumpuk? Nampaknya kurang efektifnya pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan kesempatan kerja baru mengindikasikan perencanaan perekonomian yang dilakukan sepertinya masih di atas kertas.

Salah satu upaya mengatasi pengangguran dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya sebagai instrumen menciptakan kesempatan kerja baru, tapi juga melakukan restrukturisasi angkatan kerja. Pemikiran ini dilandasi asumsi bahwa dari segi kuantitas, sebenarnya jumlah kesempatan kerja yang ada saat ini sudah mencukupi. Artinya, ia bisa menampung hampir semua angkatan kerja. Namun, itu tidak terwujud karena kesempatan kerja yang sebenarnya mencukupi itu ternyata terdistribusi secara tidak merata, tidak sesuai dengan peruntukannya, dan karena proses shifting.

Problem akan minimnya pengetahuan kebutuhan dunia kerja menyebabkan penyerapan lulusan pendidikan formal dan nonformal masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah menjalin kerja sama dengan dunia usaha untuk menyinkronkan program pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

"Sinkronisasi program pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja sangat mendesak. Upaya mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja harus dimulai sejak awal, sehingga pendidikan mampu menghasilkan tenaga siap kerja," kata Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh.

Terkait dengan hal tersebut, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Keterpaduan Program Siap Kerja dan Pemahaman Hubungan Industrial bagi Siswa SMK atau Sederajat, Mahasiswa, dan Peserta Didik pada Satuan pendidikan Nonformal, masing-masing oleh Sekjen Depnakertrans, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Prof Suyanto, Phd serta Kadin Indonesia Anton Riyanto.

Kesepakatan tersebut mencakup tiga hal. Pertama, pemahaman dinamika hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha; kebutuhan pasar kerja; dan pengenalan peraturan- peraturan ketenagakerjaan.
Menurut Suyanto, MOU ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi lulusan program pendidikan formal dan nonformal. Apalagi pemerintah telah mencanangkan program three in one, yaitu pelatihan bersama, sertifikasi, dan penempatan. "Tujuannya, untuk memudahkan lulusan SMA dan SMK diterima di pasar kerja. Pada tahun 2007, kami memperkirakan ada 850.000 siswa SMK dan SMA yang lulus," ujar Suyanto.

Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Depdiknas harus lebih menyempurnakan kurikulum agar dapat memberikan life skills pada siswa. Setidaknya sekitar 70 persen siswa membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat dipergunakan untuk hidup. Sebab, dari total siswa yang bersekolah sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat.

Konsep life skills dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad-based curriculum yang diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas. Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat.

Pengertian life skills sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik, seperti fisika, kimia, dan biologi.

Program ini memang baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup.

Untuk mengadopsi life skills ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Jakarta, tentu akan berbeda life skills yang dibutuhkan dengan mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, pertukangan tidak banyak mendapatkan tempat.

Yang jelas, penyelenggara pendidikan nasional, dalam hal ini Depdiknas harus bekerja lebih keras agar dapat memberikan pendidikan keahlian yang bisa dipergunakan untuk hidup pada peserta didik. Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang lebih bermakna, dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
"Paling tidak, karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dapat memberikan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas untuk memasukkan life skills ke dalam pendidikan," ujar Prof Muchtar Buchori, tokoh pendidikan.

Pendidikan nonformal, menurut pendapatnya, sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia, antara lain, besarnya angka pengangguran akibat kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal, program pendidikan life skills. Life skills ini pun menjadi primadona bagi PLS, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat.

Program ini bertujuan meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal, nasional, dan global.Dengan demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat.

Pemberian ketrampilan life skill pada kalangan remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih yang putus sekolah penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecapakan hidup, dan Yayasan Dharmais bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan kegiatan pelatihan life skills.

Pembekalan ketrampilan tersebut dikemas dalam program Pesantren Singkat Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (PSPUEP). Selain memberi berbagai ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani. “Tujuannya agar kelak para santri putra dan putri selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga memiliki akhlak dan bermoral,” kata Ngatman dari Yayasan Dharmais.

Kegiatan ini, jelas Ngatman, dulunya dilakukan Yayasan Dharmais guna menyiapkan sekaligus menambah ketrampilan para transmigran ini, diikuti para remaja yang tidak bisa melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan ekonomi. Melalui pelatihan singkat ini, mereka dilatih untuk berinovasi, berkreasi, berprestasi, serta belajar bersosialisasi guna membangun kepercayaan baik kepada orang tua, sesama teman maupun masyarakat.

PSPUEP dilakukan di Bogor (Jabar), Kulon Progo (DI Yogyakarta), Magetan dan Bondowoso (Jatim), Kutai Timur (Kaltim), Jakarta Barat (DKI Jakarta). Pelatihan di enam tempat tersebut diikuti 800 orang peserta. PSPUEP Cimandala, Bogor menyerap 180 orang (80 putra dan 80 putri), Pengasih, Kulon Progo diikuti 160 orang (83 putra dan 77 putri), Takeran, Magetan sebanyak 160 orang (80 putra dan 80 putri), Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso diikuti 80 orang (40 putra dan 40 putri), Pondok Pesantren Hidayatullah Sanggatta, Kutai Timur merekrut 80 orang peserta putra, dan di Pesantren Al kamal, Jakbar diikuti 160 orang (80 putra dan 80 putri).

Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, pembuatan bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, dan otomotif.

“Melalui kegiatan yang positif dan membangun melalui aneka pilihan kegiatan tersebut remaja potensial tersebut bisa terbekali, tidak hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi juga ketrampilan dan sikap kepribadian yang baik dan luhur. Kegiatan ini juga merupakan bukti dari tanggung jawab moral dari yayasan, ” kata Ngatman lagi.

Jika Yayasan Dharmais memusatkan kegiatan pelatihan life skils di “pesantren-pesantren”, sedangkan Yayasan Damandiri bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi negeri dan swasta, Sekolah Menengah Atas dan Pemerintah Daerah. Untuk wilayah timur yang dikoordinasikan meliputi Provinsi (Prov) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali melalui LIPM (Lembaga Ilmu dan Pengabdian Masyarakat) Pascasarjana Universitas Airlangga. Untuk wilayah barat meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu dengan kooedinator Yayasan INDRA bersama P2SDM IPB (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Institut Pertanian Bogor).

“Pada tahun 2006 koordinator berdasarkan kesepatakan antara Wakil Ketua I Yayasan Damandiri dengan Rektor Undip Semarang wilayah tengah dilimpahkan kepada LPM Undip, yang meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,” kata Dr Rohadi Haryanto, MSc, Asisten Administratur Bidang Program Khusus Yayasan Damandiri.

pelatihan life skills model Yayasan Damandiri menekankan pada pembinaan kewirausahaan kepada siswa SMA dan masyarakat sekitar kampus. “Program pengembangan SDM ini selain ditujukan untuk meningkatkan mutu akademis juga kepada para siswa terutama yang tidak akan melanjutkan kuliah dipersiapkan memiliki life skill, sehingga setelah lulus dapat melakukan usaha mandiri,” papar Rohadi.

Latihan untuk siswa, tambahnya, dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian materi pelajaran ekstra kurikuler. Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium dengan mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul mengusai bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus atau mengikuti magang di perusahaan, pabrik amupun tempat kerja lainnya.

“Untuk pelaksanaannya Pimpinan sekolah melakukan pemilihan 20 orang siswa sebagai calon yang akan mengikuti pelatihan berdasarkan kriteria yang ditetapkan, seperti anak keluarga tidak mampu, sudah menduduki kelas 2 atau 3, tidak akan melanjutkan kuliah dan sebagian besar adalah perempuan,” terang Rohadi.

Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kewirausahaan baik yang dilakukan terhadap siswa maupun masyarakat umum di sekitar kampus dengan melibatkan para mahasiswa yang telah duduk di semester VII.

Nampaknya dalam mengatasi masalah pengangguran mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga kerja, adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja. Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Bangku Kuliah dan Dunia Kerja


Musim penerimaan mahasiswa baru (maba) telah tiba. Hampir semua perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba menggaet calon maba. Sebagaimana tahun sebelumnya, jurusan ’’favorit’’ seperti kedokteran, keguruan, ekonomi, hukum, dan teknik kebanjiran pendaftar. Sebaliknya, jurusan ilmu sosial dan pertanian sepi peminat.

TINGGINYA animo masyarakat pada jurusan favorit dan ’’siap kerja’’ itu bukan tanpa sebab. Para prang tua tentu tidak ingin anaknya hanya menganggur, selepas lulus kuliah, karena ijazahnya ’’tidak laku’’ untuk mencari kerja.

Mereka menggunakan cara apapun agar anaknya bisa masuk jurusan favorit. Mulai dari menyewa joki saat ujian penerimaan, minta bantuan ’’orang dalam’’ dengan membayar puluhan bahkan ratusan juta, sampai ikut program swadaya atau nonreguler. Pendek kata, orang tua rela mengeluarkan modal yang tak sedikit agar anaknya bisa kuliah, khususnya pada jurusan-jurusan favorit.

Pertanyaannya, apakah dengan masuk jurusan favorit, mereka nantinya bisa langsung bekerja? Langkah apa yang mesti dilakukan para mahasiswa agar bisa sukses setelah lulus kuliah?

Sebenarnya kuliah, termasuk di jurusan favorit, belum tentu menjamin masa depan yang cerah, khususnya dikaitkan dengan orientasi kerja. Pasalnya, setiap tahun terjadi ketimpangan antara jenis keahlian yang ditawarkan perguruan tinggi dan minimnya kesempatan kerja yang ada.

Penyebab mismatch itu bisa bervariasi, dan tergantung dari sudut pandang mana. Jika dilihat dari aspek kurikulum, misalnya, ketimpangan terjadi karena kurikulum yang diterapkan PT sudah ketinggalan zaman, atau tak adaptif dengan dunia kerja.

Ketika dunia kerja meniscayakan tenaga kerja terampil dan berdedikasi tinggi, kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia hanya mampu membentuk mahasiswa yang terampil dalam aspek pengetahuan (kognitif) saja.

Akibat kurikulum yang tak adaptif, angka pengangguran dari kalangan sarjana terus meningkat. Berdasarkan data BPS (2007), jumlah sarjana menganggur pada tahun 2004 tercatat 348.000 orang, kemudian naik menjadi 385.418 orang (2005), 673.628 orang (2006), dan 740.206 orang (2007).

Fenomena ini tentu harus disikapi secara jeli dan kreatif, entah dari calon mahasiswa, orang tua, pengelola PT, maupun pemerintah sebagai stakeholder pendidikan bangsa. Yang terpenting, ada beberapa upaya yang mesti mereka lakukan.

Membuka Diri

Pertama, sejak awal mahasiswa harus menyadari bahwa kuliah bukan segalanya. Artinya, mereka harus mau membuka diri, cerdas menyiasati peluang, kreatif mencari kiat, trik, atau ilmu-ilmu praktis yang berguna untuk kehidupan kelak.

Benar bahwa kuliah tidak boleh ditinggalkan. Tetapi tidak ada salahnya jika sekali waktu mahasiswa juga mengikuti berbagai training sumber daya manusia, peningkatan kemampuan finansial, dan kewirausahaan.

Pentingnya mengikuti pelatihan, di samping kuliah, karena fakta di lapangan menunjukkan lulusan PT tidak seluruhnya siap kerja. Hasil studi Blau dan Duncan (1967) di AS, Mark Blaug (1974) di Inggris, dan Cummings (1980) di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang tak jauh berbeda antara negara maju dan negara berkembang.

Artinya, pendidikan formal hanya memberi kontribusi lebih kecil terhadap status pekerjaan dan penghasilan, daripada faktor-faktor lain di luar sekolah seperti pelatihan dan pengalaman. Banyak kasus bahwa dunia industri harus melatih mereka terlebih dulu dalam waktu yang relatif lama.

Ketika masih duduk di bangku kuliah, tidak ada salahnya membekali diri dengan berbagai keterampilan. Misal, keterampilan bahasa asing, komputer, finansial, keahlian berkomunikasi, jaringan kerja (networks), dan sebagainya.
Bagi yang mempunyai keterampilan menulis, tidak ada salahnya jika skill itu digunakan untuk menambah penghasilan, sembari menerapkan teori-teori yang didapat dari bangku kuliah.

Singkatnya, semasa kuliah, mahasiswa harus prihatin, kritis, kreatif, dan tidak hanya menjadi ’’anak mama’’, yang rutinitasnya hanya hura-hura dengan uang kiriman, atau asal datang, duduk dan dengar (D3) ketika dosen memberi kuliah.
Ketika menjadi sarjana, mereka harus memanfaatkan ilmu dan kreativitas yang dimiliki, untuk menciptakan lapangan kerja. Langkah kreatif dan mandiri itu akan meningkatkan kredibilitas seorang sarjana, daripada mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan.

Jiwa Kewirausahaan

Kedua, dengan memasukkan anak ke perguruan tinggi, bukan berarti orang tua lepas tugas. Sebaliknya, mereka justru harus membekali putra-putrinya dengan semangat dan jiwa kewirausahaan. Pasalnya, semangat dan jiwa itu merupakan modal utama yang akan memberi kontribusi besar bagi kesuksesan hidup anaknya, kelak.

Misalnya di masa liburan, orang tua harus mengarahkan anaknya untuk magang kerja di sektor kerajinan atau industri rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya.

Kegiatan magang dimaksudkan agar mahasiswa tidak terputus dari kenyataan kehidupan, terutama dari dunia kerja. Ilmu yang dipelajari di bangku kuliah pun tidak kehilangan referensi dari kehidupan nyata.

Ketiga, para pengelola perguruan tinggi —didukung pemerintah— harus menjalin kerja sama dengan dunia industri/dunia kerja. Dalam kerja sama yang saling menguntungkan, perguruan tinggi bisa membuat kurikulum dan model pembelajaran yang lebih adaptif dengan kebutuhan dunia kerja. Lebih dari itu, mahasiswa bisa diikutkan bekerja atau magang di perusahaan mitra.

Mengenyam pendidikan di bangku kuliah saat ini memang tidak mudah. Tetapi jauh lebih susah memilih PT yang tepat. Maka, orang tua dan calon mahasiswa harus jeli memilih perguruan tinggi, jangan asal masuk saja. Sebelum mendaftar, mereka harus mencermati kualitas PT, akriditasi jurusan, dan peluang kerja dari jurusan itu.

Kejelian ini diperlukan agar ketika lulus nanti, orang tua dan mahasisawa tidak kecewa atau menyesal. Semoga ! (Agus Wibowo, penulis buku ’’Malpraktik Pendidikan’’ (2008), mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta-32)


Cara Jepang Kenalkan Sains kepada Orang Muda

LAYAR informasi milik Nagoya University yang dipasang di dekat pintu tiket stasiun Nagoyadaigaku sebulanan ini menampilkan tiga wajah Nobelist. Mereka adalah Prof Toshihide Masukawa dan Prof Makoto Kobayashi, peraih Nobel Fisika 2008 yang keduanya lulusan Fakultas Science, Nagoya University, masing-masing pada tahun 1962 dan 1972, dan seorang lagi peraih Nobel Kimia, yaitu Prof Osamu Shimomura, yang juga meraih gelar PhD-nya pada fakultas yang sama, bahkan sempat menjadi associate professor di almamaternya.

Nagoya University sejak lama dikenal sebagai pusat sains dan teknologi di wilayah Jepang Tengah. Pada tahun 2001, Prof Ryouji Noyori, peneliti di Nagoya University, juga meraih Nobel di bidang kimia. Beliau menghadiahkan sebagian besar hadiah yang diperolehnya untuk membangun gedung Noyori Conference Hall di Nagoya University, yang di dalamnya dilengkapi panel-panel untuk memahami seluk-beluk ilmu kimia, termasuk temuan Noyori, yaitu asymmetric molecular catalysis.

Koran Mainichi beberapa saat setelah pengumuman Nobel melaporkan kegembiraan warga Nagoya, dan wartawan mendatangi SMP dan SMA Prof Masukawa dan mewawancarai kepala sekolah beserta siswa-siswa. Para siswa menyatakan kekaguman mereka dan bertekad untuk menekuni sains. Keseharian para Nobelist dan hasil penemuan mereka disajikan di dalam artikel koran dan program TV yang menarik.

Kalau dicermati, minat para Nobelist terhadap sains muncul dalam fase yang berbeda. Prof Ryoji Noyori terinspirasi oleh ayahnya, seorang peneliti plastik dan fiber di sebuah perusahaan kimia. Rumah Noyori dipenuhi oleh jurnal-jurnal ilmiah, plastik, dan fiber yang menjadi bahan pekerjaan ayahnya. Saat ia berumur 12 tahun, ayahnya mengajaknya menghadiri sebuah seminar tentang nilon yang diselenggarakan oleh DuPont. Noyori kecil menjadi sangat terpukau dengan kimia yang berperan banyak dalam mengubah nasib manusia sejak saat itu. Pelajaran kimia yang diperolehnya di SMP dan SMA melalui class work (sanggyou, semacam praktik di industri) memesonanya.

Shimomura justru baru tertarik kepada sains saat menjadi mahasiswa. Ledakan bom di Nagasaki pada PD II menyebabkan penglihatannya terganggu sejak kecil, dan karena kondisi perang, Shimomura berangan-angan untuk menjadi desainer pesawat. Studinya di Nagoya University telah membawanya untuk berkenalan dengan Prof Yoshimasa Hirata (juga menjadi pembimbing Prof Noyori), yang menugasinya untuk meneliti protein pada umi-hotaru (Vargula hilgendorfii).

Kemajuan sains di Jepang tidaklah mengherankan jika kita melihat anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pengembangan sains dan teknologi sebesar 16,2 persen dari total anggaran. Terlepas dari penggunaan sebagian dana untuk membangun banyak museum sains yang dikritisi telah menghabiskan dana pendidikan, sementara keuntungannya tidak berarti bagi warga, anggaran sains dan teknologi di Jepang tergolong sangat tinggi.

Pembaharuan sains di tingkat pendidikan dasar dan menengah terjadi tatkala Prof Noyori menjadi anggota Komite Reformasi Pendidikan Jepang. Noyori memicu lahirnya kebijakan super science project, berupa pengayaan materi belajar sains dan penguatan kegiatan eksperimen di sekolah.

Mencetak Nobelist di Jepang bukanlah agenda reformasi pendidikan di Jepang, tetapi mendorong kecintaan kepada sains dan memfasilitasi ilmuwan-ilmuwan muda di universitas untuk menemukan hal-hal baru, adalah tujuan utama proyek sains di Jepang.

Pada level pendidikan dasar dan menengah, guru-guru sains adalah guru bersertifikat yang terjamin keilmuan, kompetensi, dan kecintaannya kepada pengembangan ilmu.
Tugas guru pun ditunjang dengan sarana praktikum dan literatur sains yang memadai.

Bahasa Inggris sebagai bahasa sains internasional sangat memberatkan orang Jepang, oleh karena itu diciptakan terminologi sains dan teknologi dalam bahasa Jepang dan penerjemahan literatur sains ke dalam bahasa Jepang berlangsung sangat intensif.

Senin, 01 Juni 2009

Keterkaitan dunia industri dan dunia pendidikan

Jika kita bicara soal kesempatan kerja, maka di negara kita jika ada satu pekerjaan maka diperkirakan ada seribu orang yang akan melamar. Dari seribu orang itu mungkin hanya sekitar seratus orang yang memenuhi persyaratan administrasi dan lulus test psikologi. Intinya begitu besar “gap” atau perbedaan antara “Supply and Demand” ,antara persyaratan kerja dengan mereka yang memenuhi kualifikasi persyaratan kerja tersebut.

Hasil dari dunia pendidikan berupa lulusan SMK atau Politeknik yang memang dipersiapkan untuk segera memasuki dunia kerja masih jauh dari harapan. Ada beberapa sekolah kejuruan atau politeknik yang lulusannya langsung dapat masuk kepasar kerja. Mereka mempunyai peralatan latihan kerja yang memadai, biasanya merupakan proyek percontohan atau bekerjasama dengan industri tertentu. Sekolah kejuruan dan politeknik yang berjalan tanpa menyediakan peralatan latihan kerja yang memadai, akan ketinggalan teknologi dan lulusannnya masih harus dibekali dengan ketrampilan untuk dapat memenuhi standard industri.

Pada negara lain yang sudah maju masih terdapat juga masalah “link and Match” antara keluaran dari pendidikan dengan kebutuhan dunia industri. Bedanya setiap tahun besarnya “gap” itu semakin diperkecil dengan selalu mengevaluasi dan memperbaiki sistem pendidikannya. Jepang saja sebagai negara industri yang sangat maju masih ada “mis-match” dalam penempatan tenaga kerjanya.Hal ini diatasi dengan memberikan kesempatan bagi pencari kerja angkatan muda untuk melaksanakan program magang. Dengan magang di industri atau di UKM (Usaha Kecil Menengah), dan mendapatkan uang saku yang memadai, maka ketrampilan bekerja seseorang menjadi meningkat.

Di Jerman untuk pendidikan Vokasi atau kejuruan, Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Jerman memegang peranan sangat besar.Pemerintah memberikan kewenangan kepada KADIN Jerman untuk membuat kurikulum, menyediakan tempat magang, menyediakan para trainer atau pengajar dan juga assesornya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan materi ajar, penguji, pengajar dan evaluasi sekolah kejuruan ditangani oleh KADIN Jerman. Dual sistem atau sistem ganda pada sekolah kejuruan di Jerman, mengajarkan teori sekitar 20 % di sekolah dan 80 % nya adalah magang dengan bimbingan para supervisor di industri.Tidak heran lulusan SMK otomotif misalnya langsung mendapatkan pekerjaan di perusahaan otomotif. Biasanya mereka langsung diterima bekerja diperusahaan tempat mereka magang. Dengan magang langsung di industri, semua peralatan dan kebutuhan perusahaan selalu up to date, tidak ada perbedaan anatara alat peraga yang ada di sekolah dengan yang ada di industri, seperti yang kita alami.Saya melihat sendiri bagaimana anak magang mempelajari otomotif di pabrik Porsche, mobil canggih yang sangat mahal harganya. Paling murah harga mobil Porsche adalah US $ 650.000. Bandingkan dengan anak SMK Otomotif kita yang masih belajar dengan mesin mobil kuno yang tidak sesuai dengan perkembangan tekhnologi.

Seharusnya pemerintah daerah dengan kekuasaan otonominya mengetahui dengan pasti apa keunggulan daerahnya. Berdasarkan produk keunggulan daerahnya, maka dibangun kompetensi sumber daya manusianya. Misalnya di Bali yang terkenal dengan pariwisatanya, maka pemerintah daerah fokus pada pembangunan Kompetensi keahlian yang berbasis pariwisata. Di Jawa Tengah yang terkenal sebagai pusat budaya dan juga kerajinan furniture, dibangun kompetensi yang berbasis kerajinan furniture. Di Papua yang kaya emas dan juga kayunya, dibangun komptensi keahlian emas dan kayu. Dengan demikian terbentuk suatu keahlian yang khusus, unik dan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Jika selama ini kita masih sibuk menghabiskan anggaran untuk membangun infra struktur, misalnya gedung, sekolah dan perlengkapannya atau mengundang investor membangun industri di daerah. Maka sudah saatnya investasi kita arahkan untuk pembangunan sumber daya manusianya dulu. Tanpa kompetensi. tanpa adanya “link and match” antara pendidikan dan dunia industri, maka segala peralatan, gedung dan investasi menjadi tidak maksimal dan sia-sia.Berapa banyak gedung sekolah dengan segala peralatannya yang canggih tidak berfungsi dengan baik, karena tidak ada tenaga ahli yang dapat menjalankannya. Sudah saatnya kita bekerjasama membangun kompetensi unggulan daerah. Anggaran pendidikan yang begitu besar seharusnya juga diberikan kepada lembaga pelatihan industri yang sudah terbukti berhasil.misalnya untuk mendidik tenaga kerja yang trampil dibidang otomotif, tidak perlu membangun sekolah otomotif sendiri, tapi serahkan dana tersebut misalnya kepada ASTRA group untuk mengembangkan lembaga pelatihan otomotifnya.Untuk mencetak tenaga ahli elektronik, berikan anggaran kepada Panasonic Gobel misalnya untuk memperkuat lembaga pelatihan elektronik yang selama ini hanya untuk melayani kebutuhan internal.

Sudah saatnya kita bersatu, bekerjasama, saling membantu dan saling memperkuat sektor yang sudah baik untuk kemajuan bangsa. Bearapa banyak perjalanan studi banding dilakukan oleh para pejabat kita, tanya pada hati nurani apakah sudah saatnya menghentikan segala macam perjalanan studi banding yang menghabiskan anggaran dan belum terlihat tanda kapan akan diimplementasikan demi kemajuan bangsa kita tercinta

Hasil penerapan Life skill

Hasil penerapan dari pendidikan kecakapan hidup dibeberapa daerah telah menunjukkan manfaatnya, sebagaimana hasil penelitian tentang pelatihan vokasional pada pendidikan nonformal yang dilakukan di tiga provinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jawa Barat. Menurut paparan Susanna Adam Ketua Tim Penelitian pelatihan vokasional pada pendidikan nonformal dengan studi yang dilakukan terhadap 1834 peserta kursus (719 peserta masih mengikuti kursus dan 1115 telah menyelesaikan kursus) dan 174 penyedia kursus, termasuk pemerintah dan swasta, sebanyak 84 persen peserta pelatihan menyatakan keinginannya untuk membuka usaha secara mandiri. Sementara dari hasil penelitian, sebelum diselenggarakan pelatihan sebanyak tujuh persen peserta telah melakukan usaha mandiri, dan usai mengikuti pelatihan sebanyak sembilan belas persen telah mampu melakukan usaha mandiri. (Keterampilan Vokasional Memacu Kreativitas, sumber: Pers Depdiknas Jakarta, Kamis (10 April 2008).

Hasil penerapan pendidikan kecakapan hidup atau Life skill, sebagaimana tersebut mungkin belum dapat dikatakan sukses sepenuhnya, meskipun demikian pendidikan kecakapan hidup tidak hanya memberikan harapan baru tapi bekal ketrampilan dan wadah mengasah potensi bagi peserta didiknya, sehingga kesuksesan dan kemandirian berusaha sebagai jawaban atas masalah yang ada dalam kehidupan benar-benar terjawab dengan adanya life skill.

Aspek Pengembangkan Pendidikan Kecakapan Hidup

Tidak berhenti sampai pada satu titik tertentu, dimana lulusan pendidikan kecakapan hidup atau Life skill harus terus mampu mengembangkan potensi, bersikap proaktif dan produktif dengan kreativitas yang tinggi, oleh karena itu pengembangan dalam pendidikan kecakapan hidup harus terus dilakukan, menginggat kecakapan hidup menjadi kunci keberhasilan kemandirian hidup dan memberi solusi untuk setiap persoalan yang ada didalam kehidupan.

Untuk itu pengembangan pendidik kecakapan hidup haruslah dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek pendidikan life skill, yang meliputi pada kecakapan diri, (personal skill) kecakapan sosial (social skill) kecakapan akademik (akademic skill) dan Kecakapan Bekerja

Kecakapan Diri merupakan kecakapan seseorang dalam memahami (kesadaran diri), mengatur dan memotivasi diri sendiri. Kecakapan Sosial atau kecakapan antar personal mencakup antara lain kecakapan berkomunikasi dengan empati dan kecakapan membina hubungan/ bekerjasama. Empati merupakan sikap penuh pengertian terhadap orang lain, sehingga berkesan baik dan dapat menumbuhkan hubungan yang harmonis. Kecakapan Akademik meliputi kecakapan membaca, menulis, berhitung dan kecakapan lain yang umumnya dipelajari disekolah. Kecakapan Bekerja adalah kecakapan yang berkaitan dengan keterampilan kerja. Keterampilan kerja ini merupakan bekal yang selayaknya dimiliki seseorang agar dapat hidup berguna dan mandiri secara ekonomi. Pada tulisan ini, penulis akan lebih fokus pada dua kecakapan hidup, yaitu Kecakapan Diri (personal skill) dan Kecakapan Sosial (social skill). http://tumbuh-kembang-anak.blogspot.com/


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Flowers and Decors. Powered by Blogger